Selasa, 08 Desember 2015

Sejarah Demokrasi di Yunani


 

1. SEJARAH AWAL DEMOKRASI DI YUNANI

Kira-kira 500 tahun Sebelum Masehi, sejarah demokrasi dimulai bertepatan adanya sekelompok kecil manusia di Yunani dan Romawi yang mulai mengembangkan sistem pemerintahan yang memberikan kesempatan yang cukup besar bagi publik untuk ikut serta dalam merancang keputusan. Perkembangan yang paling penting bagi sejarah demokrasi, dalam berbagai literatur, telah terjadi di Eropa. Tiga di antaranya di sepanjang Pantai Laut Tengah (Yunani dan Romawi), yang lainnya di Eropa Utara

Sudah lazim diceritakan, istilah demokrasi berasal dari Yunani Kuno, democratia. Plato yang memiliki nama asli Aristocles (427-347 SM) sering disebut sebagai orang pertama yang memperkenalkan istilah democratia itu. Demos berarti rakyat, kratos berarti pemerintahan. Demokrasi menurut Plato kala itu adalah adanya sistem pemerintahan yang dikelola oleh para filosof. Hanya para filosoflah yang mampu melahirkan gagasan dan mengetahui bagaimana memilih antara yang baik dan yang buruk untuk masyarakat. Belakangan diketahui sebetulnya yang diinginkan oleh Plato adalah sebuah aristokrasi.

Selain Plato dan Aristoteles, salah satu nama lain yang dianggap memberikan kontribusi adalah Chleisthenes. Dialah tokoh yang telah mengadakan berbagai pembaruan Athena dalam sebuah sistem pemerintahan kota (Hornblower dalam Dunn, 1992). Pada 508 SM, Chleisthenes membagi peran warga Athenda ke dalam 10 kelompok, di mana masing-masing terdiri dari beberapa demes yang mengirimkan wakilnya ke Majelis yang terdiri dari 500 orang wakil.

Selain Chleisthenes, juga dikenal nama lain seperti Solon (638-558 SM yang dikenal sebagai tokoh pembuat hukum, Pericles (490-429 SM yang dikenal sebagai jenderal yang negarawan, Demosthenes (385-322 SM) yang dikenal sebagai orator (Ghofur, 2002).

Sering dikisahkan bahwa di Yunani dan Romawi pada 500 SM itulah pertama kali dilahirkan suatu sistem pemerintahan yang memberi partisipasi rakyat melalui sejumlah besar warga negara. Sistem pemerintahan yang demikian merupakan perkembangan dari model sebelumnya yang didominasi oleh sistem kerajaan, kediktatoran, aristokrasi atau oligarki.

Tetapi harus dipahami bersama, Yunani Kuno bukanlah sebuah negara dalam pengertian kita yang modern saat ini, yaitu suatu tempat di mana semua orang Yunani hidup dalam sebuah negara dengan satu pemerintahan (Dahl, 2001). Yunani Kuno masa itu adalah sebuah tempat di mana berkumpul ratusan kota yang merdeka, yang masing-masing dikelilingi oleh daerah pedalaman. Negara Yunani saat itu adalah gambaran tentang sebuah negara-kota atau polis. Sebuah negara-kota tentu saja sangat berbeda dengan ciri khas negara-negara modern saat ini yang kita sebut sebagai negara-modern, negara-bangsa atau negara-nasional, seperti Amerika, Prancis, Jepang ataupun Indonesia.

2. Masa Demokrasi Klasik
 
Negara-kota yang paling masyhur adalah Athena. Tahun 507 SM, Athena menganut sebuah sistem pemerintahan kerakyatan yang berlangsung kira-kira dua abad lamanya. Sampai akhirnya, Athena tahun 321 SM tunduk di bawah kekuasaan Macedonia selama beberapa generasi, dan berikutnya tunduk lagi di bawah kekuasaan Romawi.
Di antara banyak negara demokrasi di Yunani, Athena memang yang paling penting, dan terkenal, saat itu dan saat ini. Pengaruhnya cukup besar bagi perkembangan filsafat politik, terutama terkait dengan sebuah aspek penting demokrasi, yakni partisipasi warga.
Pemerintahan Athena itu rumit, dan amat rumit, begitu kata Robert A Dahl. Pada intinya, pemerintahan Athena adalah sebuah majelis di mana seluruh warga negara-kota berhak ikut serta. Sebuah majelis memiliki beberapa orang pejabat utama, misalnya beberapa orang jenderal. Untuk memilih seorang pejabat utama, warga Athena mengadakannya melalui suatu undian dengan syarat bahwa semua warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih apabila memenuhi syarat. Seorang warga negara biasa sekalipun memiliki peluang untuk menjadi pejabat utama, jika memenangkan undian, dan akan memegang jabatan tinggi yang penting dalam pemerintahan.
Begitu pula yang terjadi di Roma yang terletak di semenanjung Italia. Praktik demokrasi mula-mula yang terjadi di sini kira-kira sama waktunya dengan yang terjadi di Yunani. Kalau orang Yunani menyatakannya sebagai polis atau negara-kota, orang Romawi menyebut sistem pemerintahan mereka sebagai republik. Maknanya, res dalam bahasa Latin berarti kejadian atau peristiwa, dan publicus berarti publik atau masyarakat. Jika dimaknai secara bebas maka kata ’republik’ itu adalah ’sesuatu yang menjadi milik rakyat’.

Mula-mula, hak untuk ikut memerintah dalam sistem pemerintahan yang disebut Republik di Romawi ini hanya terbatas pada golongan bangsawan (patricia) atau kaum aristokrat saja. Namun dalam perkembangannya, setelah didahului dengan perjuangan yang hebat, rakyat biasa (pleb atau kaum miskin, rakyat jelata) juga dapat masuk ke dalamnya.

Persamaan yang terjadi dalam demokrasi di Athena maupun di Romawi adalah bahwa hak untuk berpartisipasi dalam politik hanya terbatas pada kaum laki-laki saja!
Dalam perjalanan sejarah yang berlainan, jika Athena pada akhirnya takluk di bawah Macedonia, dan juga Roma di kemudian hari, justru Romawi adalah sebuah negara yang kuat. Dengan kekuatan yang dimaklumi, kegiatan eksternal Romawi adalah melakukan penaklukan dan pencaplokan wilayah. Pada akhirnya Roma yang semula adalah sebuah kota yang tidak begitu besar ukurannya lalu menjadi negara yang luar biasa besarnya. Republik Roma itu akhirnya memerintah seluruh kawasan di Italia.
Dalam setiap penundukan suatu wilayah, Republik selalu memberikan kewarganegaraan Romawi kepada setiap penduduk wilayah jajahannya. Seringkali hal ini justru merupakan sesuatu yang disenangi penduduk karena menjadi bangsa Romawi memang membanggakan. Dan karena menjadi warga negara Romawi, mereka juga berhak sama dengan warga Roma pada umumnya dalam berdemokrasi.

Yang menjadi catatan penting sejarah dalam hal ini adalah tidak adanya inisiatif Romawi untuk mengembangkan kelembagaan-kelembagaan demokrasi sesuai dengan kapasitas wilayahnya yang sangat luas. Demokrasi tetap dijalankan di Roma. Tidak dipikirkan bahwa Kota Roma adalah tempat yang sangat jauh untuk dikunjungi kalau hanya untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.
Hingga kini memang sejarah Romawi masih memendam pertanyaan mendalam, mengapakah orang-orang Romawi yang kreatif itu, saat itu tidak kreatif memikirkan cara berdemokrasi dengan sistem perwakilan dan dengan wakil-wakil yang bisa dipilih secara demokratis?
Umur Romawi jelas lebih panjang dari umur Athena. Tetapi akibat kerusuhan sosial, militerisme dan korupsi, Republik Romawi hancur di bawah kediktatoran Julius Caesar. Republik yang awalnya diperintah oleh publik, akhirnya justru dikuasai oleh para kaisar.
Sementara di Eropa Utara pada tahun 600 M sampai 1000 M juga ditemukan artefak-artefak yang menunjukkan bahwa pemerintahan oleh rakyat dilakukan. Di Swiss, Skandinavia dan tempat-tempat lain di utara Laut Tengah beberapa ornamen demokrasi memperkuat cerita sejarah tentang bagaimana partisipasi rakyat dilakukan.
Sejarah demokrasi lain bisa kita temukan dengan membaca sejarah Italia. Pemerintahan dengan semangat demokrasi di Italia muncul pada 1100 Masehi. Seolah-olah pemerintahan Italia masa itu adalah reinkarnasi dari Republik Roma yang sudah hancur ribuan tahun silam. Praktik demokrasinya khas Roma. Mula-mula yang diizinkan untuk berpartisipasi pada pemerintahan adalah kalangan borjuis dan bangsawan. Setelah melalui berbagai tuntutan, publik luas juga mendapat porsi untuk berpartisipasi. Mereka terdiri dari anggota kelas yang populer saat ini dengan sebutan kelas menengah.

Mereka terdiri dari orang kaya baru, pedagang dan bankir, organisasi para perajin (gilda), serta para serdadu jalan kaki yang diperintah bangsawan. Orang-orang yang mengorganisasikan diri dalam masing-masing profesinya, lazim disebut sebagai popolo, memang berhasil menekan pemerintahan dan meminta hak untuk ikut berpartisipasi.

Lagi-lagi kemunduran Italia dalam demokrasi terjadi akibat korupsi, kerusuhan sosial, perang dan labilitas ekonomi. Dalam situasi yang tidak menguntungkan bagi demokrasi, yang berkuasa kembali adalah para penguasa otoriter, yang dapat saja berupa seorang pangeran, raja atau tentara.

Peristiwa sejarah yang menjadi penanda munculnya demokrasi dalam masa ini kemungkinan bermula pada masa kepenguasaan Paus Gregorius VII (1073-1085). Pada tahun 1075, Paus Gregorius VII mengeluarkan sebuah maklumat penting bernama Reformatio Totius Orbis yang bermaksud untuk menata ulang tertib semesta yang mengikat siapapun, kecuali dirinya (Wignjosubroto, 2006).
Hal ini mengundang polemik tajam dengan para raja penguasa dunia, khususnya Kaisar Heinrich IV dari Imperium Romawi (sekitar 1050-1106). Dia menyatakan para raja dan kaisar juga mempunyai kuasa untuk membuat aturan-aturan sendiri demi tegaknya tertib dunia. Konflik tak kunjung akhir, dan hanya menyepakati bahwa setiap aturan yang dikeluarkan oleh satu pihak harus dikabarkan kepada pihak lainnya.

Sejarah kelahiran doktrin hukum yang disebut rule of law ini secara implisit memberikan suatu kekuatan negara untuk bertindak atas nama hukum. The state of law ini kian kukuh dengan dimaklumatkannya kesepakatan serupa antara Raja John I dari Inggris (1167-1216) dan Paus Innocentius III. Kesepakatan juga dilakukan dengan para baron yang tertuang dalam piagam klasik yang sangat terkenal, Magna Charta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar